1. Masa SMA dan Awal Mula Ketertarikan
Sampai kelas 3 SMA, aku sama sekali nggak pernah membayangkan bakal tinggal di Jepang. Kuliah di sana? Apalagi. Bahkan ketertarikan terhadap hal-hal berbau Jepang pun hampir nol. Tapi seperti yang sering terjadi dalam hidup, selalu ada plot twist.
Aku adalah alumni SMA Negeri 1 Boja, Kendal. Rumahku di Mijen, Semarang, jadi setiap hari harus bolak-balik antar kota naik motor sendiri. Rasanya kayak 男子高生 (danshi kousei/siswa SMA cowok) di anime, tapi versi kehujanan dan kena tilang. Waktu itu aku naik Yamaha R15—jaman segitu sih keren banget! Tapi, seperti biasa, suka duka selalu datang: ban bocor, hujan pagi-pagi, hingga kelelahan di kelas karena kurang tidur.
Aku lulusan SMP swasta, dan cukup pede daftar ke SMA favorit yang isinya anak-anak top dari SMP unggulan. Tambah lagi, aku masuk jurusan IPA, yang ternyata... bukan jiwaku. Di SMP sering ranking 3 besar, tapi di SMA malah ranking 3 dari bawah.
2. Titik Balik: Memilih Jalan ke Jepang
Karena merasa nggak cocok di dunia IPA, aku mulai cari jalur lain. Waktu itu ada kakak kelas (senpai) yang udah berangkat ke Jepang. Aku pun mulai cari informasi dan menemukan Japan Inter Study Center (JIC Indonesia) di Jogja. Bapak setuju dan sangat mendukung.
Tahun 2016, setelah lulus SMA, aku ke Jogja belajar bahasa dan budaya Jepang di JIC selama 6 bulan. Kemudian aku memilih sekolah bahasa Nippon Go Gakuin di Maebashi, Gunma. Di sana aku lanjut belajar selama 1,5 tahun.
Perkiraan Biaya Awal ke Jepang
| Komponen | Estimasi Biaya |
| Kursus + Hidup di Jogja 6 bulan | Rp 30.000.000 |
| Sekolah Bahasa Jepang (biaya awal + semester pertama) | Rp 60.000.000 |
| Total | Rp 90.000.000 |
Waktu itu, kurs yen lagi tinggi, jadi biaya masuk cukup menguras dompet.
3. Kuliah dan Hidup Mandiri di Jepang
Setelah lulus sekolah bahasa, aku cari universitas sendiri dan diterima di Kantou Gakuen University. Aku masuk tahun 2018, dan dari 4 orang Indonesia yang diterima, cuma aku satu-satunya cowok (berasa jadi tokoh utama anime harem, tapi versi nyuci piring).
Aku pindah ke Oota dan mulai kerja malam di Lawson. Dari situlah perjuangan hidup mandiri dimulai. Semua biaya kuliah dan hidup kutanggung sendiri dari hasil baito.
Biaya Hidup Rata-rata (Mahasiswa Hemat)
| Kebutuhan | Estimasi per bulan |
| Sewa apato | 28.000 yen |
| Makan | 25.000 yen |
| Internet | 5.000 yen |
| Jajan / hiburan | 10.000 yen |
| Gas, listrik, air | 15.000 yen |
| Total | 83.000 yen |
Biaya Kuliah
- Tahun pertama: 1.000.000 yen
- Tahun berikutnya: 600.000 yen/tahun atau 50.000 yen/bulan (jika dicicil)
Asalkan pintar mengatur uang, tidak tergoda diskonan Donki, dan makan diskonan konbini, insyaAllah bisa bertahan tanpa minta kiriman dari orang tua.
4. Suka Duka Kehidupan Baito
Kerja malam itu benar-benar uji mental. Pernah suatu malam aku harus bersihin sepatu pelanggan mabuk yang nginjek wadah pop mie berkuah di parkiran. Nggak jelas kenapa ada pop mie di situ. Waktu itu aku kerja sendirian, tengah malam, cuma ditemani mesin kopi dan CCTV.
Tapi semua itu ngajarin banyak hal: sabar, komunikasi, manajemen waktu, dan tahan emosi pas lagi ngantuk-ngantuknya.
5. Hidup di Matsuyama dan Kehidupan Keluarga
Setelah lulus kuliah, aku pindah ke Matsuyama untuk bekerja sebagai penerjemah. Dua tahun pertama hidup sendiri, lalu istriku datang menyusul. Tak lama, anak pertama kami lahir.
Sekarang kami tinggal bersama dan aku juga aktif sebagai pengajar bahasa Jepang online (JLPT N3 & N2) serta konten kreator edukasi di akun @japanarenacorp. Setiap season belajar 4 bulan, dan muridku sekarang lebih dari 100 orang per musim.
Menjadi ayah di Jepang itu penuh tantangan—dari urusan asuransi anak, layanan kesehatan, sampai memahami sistem pendidikan Jepang. Tapi semua itu jadi pelajaran hidup yang luar biasa.
6. Penutup
Masih banyak hal yang belum aku ketahui. Tapi, begitulah hidup. Kita tidak harus tahu semuanya sekarang. Yang penting, tetap mau belajar, bertanya, dan berbagi.
Buat kamu yang bermimpi tinggal di Jepang, semoga ceritaku ini bisa memberi gambaran nyata. Dan buat kamu yang sudah di sini, semoga kita bisa saling menyemangati.
Sampai jumpa di cerita berikutnya!